"Didedikasikan kepada pemilik Tulisan ini, saya tidak tahu siapa yang menulis tulisan ini.
Mohon maaf jika artikelnya saya terbitkan, dan semoga bisa bermanfaat"
Mohon maaf jika artikelnya saya terbitkan, dan semoga bisa bermanfaat"
Manusia, dalam perjalanan kehidupannya, dipastikan akan
mengalami ujian-ujian idealisme. Seperti Dax tua yang tidak peduli lagi dengan
kejayaan Mobile Infantry, begitulah ketika orang-orang tua mulai apatis.
Orang-orang muda selalu tidak puas dan menganggap mereka telah berkhianat. Ini
pula alasan pemberontak Timor Timur yang mencintai Xanana Gusmao. Mereka
melihat, Xanana sekarang bukan yang dulu lagi. Sebenarnya, apa sih yang terjadi
dengan mereka, orang-orang tua itu? Mengapa mereka sering terkesan tidak punya
prinsip lagi? Saya akan mencoba memandangnya dari mata orang muda, orang yang
sangat muda.
Suatu saat ada cerita seorang mandor muda dengan anak
buahnya. Para anak buah memprotes sang mandor, karena dia mengukur pekerjaan
mereka apa adanya.
Orang-orang kecil itu menghendaki manipulasi, agar mereka
bisa membawa pulang uang lebih banyak. Alasan mereka, “Kowe durung tau
ngrasakke angele urip kok mas”. Tentu saja mandor tersebut kemudian menghadapi
dilema. Melakukan korupsi yang jelas salah, atau mencoba berperikemanusiaan dan
menolong anak buahnya. Dilema-dilema semacam ini, adalah salah satu yang
melemahkan prinsip seorang idealis. Di kemudian hari, orang-orang seperti ini
akan melonggarkan pegangannya dari petunjuk yang paling pasti, petunjuk Allah.
Ada cerita yang lain lagi. Seorang ikhwah yang dikenal
hanif akan memperluas usahanya. Untuk menambah modalnya, dia meminjam uang 30
juta rupiah. Tapi, bukan kepada lembaga keuangan syariah, melainkan kepada
sebuah BPR. Alasan yang dikemukakan, tambahan yang disyaratkan oleh lembaga
keuangan syariah sangat besar, dan dia kesulitan untuk mengembalikannya. Sekali
lagi, inilah yang melemahkan idealisme seorang pemuda. Karena dia butuh makan,
katanya.
Jika contoh yang pertama adalah tekanan luar, maka yang
kedua adalah tekanan dalam. Tekanan kebutuhan hidup adalah tekanan dalam,
sedangkan tekanan lingkungan kerja adalah tekanan luar. Lalu apakah itu berarti
saya menyatakan semua hal itu sebagai kesalahan? Hmm, nanti dulu pembahasan
tentang itu. Sekarang, kita lihat lagi alasan yang lain.
Mereka yang mulai terpengaruh oleh warna-warni dunia,
mengemukakan alasan klasik yang terkenal, yaitu keluwesan. Mereka bilang,
jangan terlalu kaku lah, luweslah walau sedikit. Dunia tidak akan bisa dihadapi
oleh orang-orang yang keras kaku. Mereka akan tersingkir dan tidak akan bisa
berbuat apa-apa. Dunia ini tidak hitam putih, melainkan lebih banyak
abu-abunya. Kita sendiri juga abu-abu, kadang baik, kadang jelek. Mereka yang
kita pandang hitam juga abu-abu, kadang jelek, kadang baik. Hal-hal semacam ini
hanyalah sebagian kecil dari hal-hal yang lebih besar. Mengapa kita harus
berkutat dengan hal-hal kecil yang membuat kita tidak produktif?
Saya setuju pas bagian abu-abunya. Semua orang itu pada
dasarnya mempunyai kebaikan dan keburukan. Tapi, apakah itu berarti kita harus
menganggap tidak penting agama kita? Bahkan mereka yang berusaha untuk berbuat
yang terbaik pun akan terkena dosa juga.
Sebodoh apakah kita hingga tidak mau berbuat yang terbaik
juga? Segila apakah kita sehingga dengan sengaja melakukan hal yang nyata-nyata
buruk, bahkan masih sempat membela diri dan mengajak orang lain untuk
melakukannya? Apakah kita sedang berusaha menjadi setan? Kalau memang bukan
setan, simpanlah yang buruk untuk diri kita sendiri. Bertobatlah kepada Allah,
dan berjanji akan berusaha menghindarinya jika bertemu dengan masalah yang
sama.
Saya, sebagai orang muda yang masih hijau dan belum tahu
apa-apa, sedih melihat gejala-gejala seperti ini. Fyuuhh, rasanya dunia semakin
sepi saja. Satu hal yang saya lihat sebagai kunci dari semua permasalahan ini,
yaitu perasaan bersalah. Ketika seseorang mendapat tekanan dan ujian kemudian
melakukan kesalahan, dia merasa bersalah. Ketika dia dihadapkan dengan
permasalahan yang sama kemudian, dia merasa bersalah lagi. Begitu terus, ujian
demi ujian datang silih berganti.
Akhirnya, suatu saat dia memutuskan tidak perlu merasa
bersalah lagi. Karena yang lain juga melakukan yang sama. Karena dia tidak
ingin ditekan oleh perasaan bersalah itu. Di antara prinsip dan dorongan
kesulitan hidup, dia mengalahkan prinsip, memenangkan kesulitan hidup, dan
mengubahnya menjadi kemudahan hidup. Well, muncullah prototipe negatif orang
tua yang kita kenal sekarang ini. Para pengkhianat ideologinya sendiri. Tentu
saja, itu dari sudut pandang orang muda.
Saya pikir, ada satu hal lagi yang bisa menyelesaikan
dilema ini. Ya, seorang muslim akan mendapati hal ini sebagai tameng yang
sangat bagus untuk menghadapi tekanan-tekanan itu. Jika tekanan-tekanan yang
ada tadi menekan hati, maka kita akan memindahkan tekanan itu kepada akal.
Tameng itu bernama fiqh.
Masih ingat dengan Umar Ibn Khattab? Dia pernah
melepaskan seorang pencuri karena pencuri itu terpaksa mencuri. Mencuri secara
tegas dikatakan salah, tapi akhirnya para sahabat setuju dengan keputusannya
untuk melepaskan pencuri tersebut. Kita lihat juga kisah Rasulullah dengan
sahabat yang paling miskin. Saat itu sahabatnya melanggar kewajiban shaum
dengan bersetubuh di siang hari. Tapi dia malah pulang membawa makanan. Saya
jadi teringat dengan Eyang Qardhawi. Beliau menyatakan bahwa riba yang berasal
dari tabungan kita seharusnya diambil, namun tidak boleh digunakan untuk
kepentingan pribadi. Uang tersebut digunakan untuk membangun WC umum dan jalan.
Bukankah perintah Allah sudah jelas bahwa riba itu haram?
Inilah yang seharusnya berbeda antara orang tua dan orang
muda. Umar tetaplah seorang idealis sampai mati, hanya saja dia semakin bijak
di hari tuanya. Semakin tua, bukannya semakin luntur idealisme kita, tapi semakin
kuat dan semakin bijaksana. Memang sih, wajar jika orang muda itu tidak
bijaksana. Karena yang dipertimbangkannya hanya sedikit hal. Lain halnya dengan
orang tua yang semakin rumit dan semakin banyak yang harus dipikirkannya.
Maklumilah orang muda yang masih sederhana pikirannya dan masih sempit cara
pandangnya, karena memang begitulah karakter mereka.
Kembali ke masalah fiqh. Bagaimana fiqh bisa dikatakan
menyelesaikan dilema? Bisa, jika seseorang menyerahkan semua dilema itu kepada
ijtihad. Jika benar mendapat dua pahala, dan jika salah mendapatkan satu
pahala. Karena itu, wajib bagi seseorang memahami fiqh tentang segala hal yang
mungkin dihadapinya, entah itu dalam pekerjaannya atau dimanapun dia berada.
Karena ketika memutuskan, dia berharap bahwa itulah yang benar sambil tetap
konsisten terhadap keputusan itu. Setelah diputuskan, dia tidak perlu merasa
bersalah dan tidak perlu merasa berdosa. Karena ada fiqh, maka yang abu-abu
menjadi putih. Jika sebagaimana Umar melepas pencuri, maka manipulasi dalam
proyek tersebut dibolehkan, maka lakukan tanpa perlu merasa berdosa. Allah tahu
bahwa anak buah kita hidup dengan tidak layak. Allah tahu kita sudah berusaha
yang terbaik.
Lalu, apakah semua sudah selesai? Belum, belum selesai.
Tekanan tetaplah sebuah tekanan. Jika memang fiqh sudah memutuskan, dan
keputusan yang jatuh adalah keputusan yang berat, mudah-mudahan Allah
menguatkan hati kita. Karena kita adalah makhluk lemah yang berusaha mengharap
ridhonya. Itulah ujian bagi manusia. Caci maki yang timbul, karir yang seret,
dipecat, tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup, itu semua dari Allah, bukan kita
yang minta. Berusahalah, dan kembalikan semuanya kepada Allah. Mudah-mudahan,
kita semua bisa menjadi orang yang istiqomah terhadap iman Islam ini.
Masih merasa artikel ini terlalu hitam putih? Masih
terasa terlalu keras dan kaku? Ya, sejak awal artikel ini memang hitam putih.
Saya memang berusaha menyampaikan pentingnya keteguhan prinsip. Saya mencoba
mengalihkan pandangan dari “Don’t be too white” menjadi “White isn’t always
clear”. Kebenaran kadangkala tidak selalu jelas, karena itu berusahalah dengan
sebaik mungkin untuk mencapainya. Yang sungguh berusaha pun tidak selalu benar,
apalagi jika kita main-main dan menganggap enteng kebenaran. Surga tidak mudah,
karena lebih banyak ahli neraka daripada ahli surga.