Saturday, 4 January 2014

Idealis

"Didedikasikan kepada pemilik Tulisan ini, saya tidak tahu siapa yang menulis tulisan ini.
Mohon maaf jika artikelnya saya terbitkan, dan semoga bisa bermanfaat"


Manusia, dalam perjalanan kehidupannya, dipastikan akan mengalami ujian-ujian idealisme. Seperti Dax tua yang tidak peduli lagi dengan kejayaan Mobile Infantry, begitulah ketika orang-orang tua mulai apatis. Orang-orang muda selalu tidak puas dan menganggap mereka telah berkhianat. Ini pula alasan pemberontak Timor Timur yang mencintai Xanana Gusmao. Mereka melihat, Xanana sekarang bukan yang dulu lagi. Sebenarnya, apa sih yang terjadi dengan mereka, orang-orang tua itu? Mengapa mereka sering terkesan tidak punya prinsip lagi? Saya akan mencoba memandangnya dari mata orang muda, orang yang sangat muda.

Suatu saat ada cerita seorang mandor muda dengan anak buahnya. Para anak buah memprotes sang mandor, karena dia mengukur pekerjaan mereka apa adanya.

Orang-orang kecil itu menghendaki manipulasi, agar mereka bisa membawa pulang uang lebih banyak. Alasan mereka,  “Kowe durung tau ngrasakke angele urip kok mas”. Tentu saja mandor tersebut kemudian menghadapi dilema. Melakukan korupsi yang jelas salah, atau mencoba berperikemanusiaan dan menolong anak buahnya. Dilema-dilema semacam ini, adalah salah satu yang melemahkan prinsip seorang idealis. Di kemudian hari, orang-orang seperti ini akan melonggarkan pegangannya dari petunjuk yang paling pasti, petunjuk Allah.

Ada cerita yang lain lagi. Seorang ikhwah yang dikenal hanif akan memperluas usahanya. Untuk menambah modalnya, dia meminjam uang 30 juta rupiah. Tapi, bukan kepada lembaga keuangan syariah, melainkan kepada sebuah BPR. Alasan yang dikemukakan, tambahan yang disyaratkan oleh lembaga keuangan syariah sangat besar, dan dia kesulitan untuk mengembalikannya. Sekali lagi, inilah yang melemahkan idealisme seorang pemuda. Karena dia butuh makan, katanya.

Jika contoh yang pertama adalah tekanan luar, maka yang kedua adalah tekanan dalam. Tekanan kebutuhan hidup adalah tekanan dalam, sedangkan tekanan lingkungan kerja adalah tekanan luar. Lalu apakah itu berarti saya menyatakan semua hal itu sebagai kesalahan? Hmm, nanti dulu pembahasan tentang itu. Sekarang, kita lihat lagi alasan yang lain.

Mereka yang mulai terpengaruh oleh warna-warni dunia, mengemukakan alasan klasik yang terkenal, yaitu keluwesan. Mereka bilang, jangan terlalu kaku lah, luweslah walau sedikit. Dunia tidak akan bisa dihadapi oleh orang-orang yang keras kaku. Mereka akan tersingkir dan tidak akan bisa berbuat apa-apa. Dunia ini tidak hitam putih, melainkan lebih banyak abu-abunya. Kita sendiri juga abu-abu, kadang baik, kadang jelek. Mereka yang kita pandang hitam juga abu-abu, kadang jelek, kadang baik. Hal-hal semacam ini hanyalah sebagian kecil dari hal-hal yang lebih besar. Mengapa kita harus berkutat dengan hal-hal kecil yang membuat kita tidak produktif?
Saya setuju pas bagian abu-abunya. Semua orang itu pada dasarnya mempunyai kebaikan dan keburukan. Tapi, apakah itu berarti kita harus menganggap tidak penting agama kita? Bahkan mereka yang berusaha untuk berbuat yang terbaik pun akan terkena dosa juga.

Sebodoh apakah kita hingga tidak mau berbuat yang terbaik juga? Segila apakah kita sehingga dengan sengaja melakukan hal yang nyata-nyata buruk, bahkan masih sempat membela diri dan mengajak orang lain untuk melakukannya? Apakah kita sedang berusaha menjadi setan? Kalau memang bukan setan, simpanlah yang buruk untuk diri kita sendiri. Bertobatlah kepada Allah, dan berjanji akan berusaha menghindarinya jika bertemu dengan masalah yang sama.

Saya, sebagai orang muda yang masih hijau dan belum tahu apa-apa, sedih melihat gejala-gejala seperti ini. Fyuuhh, rasanya dunia semakin sepi saja. Satu hal yang saya lihat sebagai kunci dari semua permasalahan ini, yaitu perasaan bersalah. Ketika seseorang mendapat tekanan dan ujian kemudian melakukan kesalahan, dia merasa bersalah. Ketika dia dihadapkan dengan permasalahan yang sama kemudian, dia merasa bersalah lagi. Begitu terus, ujian demi ujian datang silih berganti.

Akhirnya, suatu saat dia memutuskan tidak perlu merasa bersalah lagi. Karena yang lain juga melakukan yang sama. Karena dia tidak ingin ditekan oleh perasaan bersalah itu. Di antara prinsip dan dorongan kesulitan hidup, dia mengalahkan prinsip, memenangkan kesulitan hidup, dan mengubahnya menjadi kemudahan hidup. Well, muncullah prototipe negatif orang tua yang kita kenal sekarang ini. Para pengkhianat ideologinya sendiri. Tentu saja, itu dari sudut pandang orang muda.

Saya pikir, ada satu hal lagi yang bisa menyelesaikan dilema ini. Ya, seorang muslim akan mendapati hal ini sebagai tameng yang sangat bagus untuk menghadapi tekanan-tekanan itu. Jika tekanan-tekanan yang ada tadi menekan hati, maka kita akan memindahkan tekanan itu kepada akal. Tameng itu bernama fiqh.

Masih ingat dengan Umar Ibn Khattab? Dia pernah melepaskan seorang pencuri karena pencuri itu terpaksa mencuri. Mencuri secara tegas dikatakan salah, tapi akhirnya para sahabat setuju dengan keputusannya untuk melepaskan pencuri tersebut. Kita lihat juga kisah Rasulullah dengan sahabat yang paling miskin. Saat itu sahabatnya melanggar kewajiban shaum dengan bersetubuh di siang hari. Tapi dia malah pulang membawa makanan. Saya jadi teringat dengan Eyang Qardhawi. Beliau menyatakan bahwa riba yang berasal dari tabungan kita seharusnya diambil, namun tidak boleh digunakan untuk kepentingan pribadi. Uang tersebut digunakan untuk membangun WC umum dan jalan. Bukankah perintah Allah sudah jelas bahwa riba itu haram?

Inilah yang seharusnya berbeda antara orang tua dan orang muda. Umar tetaplah seorang idealis sampai mati, hanya saja dia semakin bijak di hari tuanya. Semakin tua, bukannya semakin luntur idealisme kita, tapi semakin kuat dan semakin bijaksana. Memang sih, wajar jika orang muda itu tidak bijaksana. Karena yang dipertimbangkannya hanya sedikit hal. Lain halnya dengan orang tua yang semakin rumit dan semakin banyak yang harus dipikirkannya. Maklumilah orang muda yang masih sederhana pikirannya dan masih sempit cara pandangnya, karena memang begitulah karakter mereka.

Kembali ke masalah fiqh. Bagaimana fiqh bisa dikatakan menyelesaikan dilema? Bisa, jika seseorang menyerahkan semua dilema itu kepada ijtihad. Jika benar mendapat dua pahala, dan jika salah mendapatkan satu pahala. Karena itu, wajib bagi seseorang memahami fiqh tentang segala hal yang mungkin dihadapinya, entah itu dalam pekerjaannya atau dimanapun dia berada. Karena ketika memutuskan, dia berharap bahwa itulah yang benar sambil tetap konsisten terhadap keputusan itu. Setelah diputuskan, dia tidak perlu merasa bersalah dan tidak perlu merasa berdosa. Karena ada fiqh, maka yang abu-abu menjadi putih. Jika sebagaimana Umar melepas pencuri, maka manipulasi dalam proyek tersebut dibolehkan, maka lakukan tanpa perlu merasa berdosa. Allah tahu bahwa anak buah kita hidup dengan tidak layak. Allah tahu kita sudah berusaha yang terbaik.

Lalu, apakah semua sudah selesai? Belum, belum selesai. Tekanan tetaplah sebuah tekanan. Jika memang fiqh sudah memutuskan, dan keputusan yang jatuh adalah keputusan yang berat, mudah-mudahan Allah menguatkan hati kita. Karena kita adalah makhluk lemah yang berusaha mengharap ridhonya. Itulah ujian bagi manusia. Caci maki yang timbul, karir yang seret, dipecat, tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup, itu semua dari Allah, bukan kita yang minta. Berusahalah, dan kembalikan semuanya kepada Allah. Mudah-mudahan, kita semua bisa menjadi orang yang istiqomah terhadap iman Islam ini.

Masih merasa artikel ini terlalu hitam putih? Masih terasa terlalu keras dan kaku? Ya, sejak awal artikel ini memang hitam putih. Saya memang berusaha menyampaikan pentingnya keteguhan prinsip. Saya mencoba mengalihkan pandangan dari “Don’t be too white” menjadi “White isn’t always clear”. Kebenaran kadangkala tidak selalu jelas, karena itu berusahalah dengan sebaik mungkin untuk mencapainya. Yang sungguh berusaha pun tidak selalu benar, apalagi jika kita main-main dan menganggap enteng kebenaran. Surga tidak mudah, karena lebih banyak ahli neraka daripada ahli surga.


Komentar Anda Disini !!

Alamat :

Jl. Tgk Imum Lueng Bata Komp. Terminal L 300 No 4 Banda Aceh. 23247.
Telp : (0651) 635445, 32243. Fax (0651) 635448. HP: 0852 7113 3048
E-mail : dekaputraexpress@ymail.com
Facebook : Cv. Deka Putra Tour
situs: http://cvdekaputra.blogspot.com
Copyright © 2014 - CV. Deka Putra
Designed By Xplory Design